Dalam perjalananku malam ini,
aku membayangkan kita
Sedang berboncengan,
menerobos lampu jalanan yang begitu terang
Saling menggenggam,
dan bercerita apapun
Bahkan sesekali,
Aku mendekapmu erat
Mencuri pandang lewat kaca spion,
lalu mencubit perutmu yang sedikit buncit
Dalam perjalananku malam ini,
kamu hanya ada dalam ilusi
Selebihnya,
aku bahkan tak tahu kamu di mana
serangkaian kata yang mungkin akan kau baca
Senin, 13 Mei 2019
Minggu, 06 Januari 2019
Sebuah Percakapan
Job fair kali ini luar biasa ramai. Padahal hari sudah semakin siang, tapi banyak orang yang masih bertahan dan memilih untuk berdesak-desakan.
Aku mulai sesak napas karena beberapa menit tidak bergerak di antara ratusan orang. Setelah aku bisa bergerak dan menemukan jalan keluar, aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan beristirahat di bawah pohon.
Seseorang duduk di sampingku. Seorang perempuan cantik berjilbab merah.
"Capek ya mbak?" tanyanya memulai percakapan.
"Iyaaa," jawabku dengan wajah yang sudah penuh dengan keringat.
"Saya sudah dua tahun lulus kuliah tapi belum dapat kerjaan."
"Oh ya mbak? Kalau saya baru satu tahun."
Perempuan di sampingku tersenyum.
"Nggak apa-apa, nanti juga ada waktunya."
Jeda beberapa menit. Aku melihat perempuan itu memandang lurus ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Lalu selama ini, apa aktivitas mbak di rumah?" aku bertanya dengan hati-hati.
Ia menoleh, dan nampak kaget.
"Saya di rumah... bantu orangtua. Kapan lagi bisa berbakti sama orangtua. Siapa tahu setelah ini, saya dapat kerjaan di tempat yang jauh. Mungkin Allah ingin saya lebih lama di rumah, karena setelah ini saya akan jarang pulang. Selalu berpikir positif, ada hikmah di balik semua ketetapan yang sudah Allah berikan untuk kita."
Aku menunduk dan terdiam. Seperti memperoleh tamparan keras. Selama ini, aku jarang sekali berpikir positif. Aku selalu membandingkan diriku dengan orang lain. Dan tak jarang, aku merasa iri dengan mereka.
"Rejeki kan bukan hanya tentang memperoleh pekerjaan. Rejeki itu banyak macamnya. Kita ada di sini saja, itu sudah rejeki. Karena kita diberikan kekuatan untuk terus berusaha mencari pekerjaan. Kita sehat, orangtua dan keluarga di rumah sehat. Sekolah adik-adik kita lancar, itu juga rejeki."
Aku semakin menunduk.
"Allah itu Maha Baik. Percayalah."
Perempuan di sampingku itu menepuk bahuku pelan. Rasanya aku ingin menangis. Aku malu. Aku seringkali marah-marah dan berprasangka buruk.
"Sekarang mungkin kita tidak tahu alasan mengapa Allah memberikan jalan hidup seperti ini untuk kita. Pasti pernah ada masanya kita marah, berprasangka buruk, hingga tidak percaya. Tapi nanti, suatu saat kita akan tahu, bahwa rencana Allah itu indah dan selalu tepat waktu. "
Sekarang, aku benar-benar menangis.
"Jangan pernah merasa kalah dari yang lain. Kita hidup di dunia bukan untuk memperebutkan siapa yang lulus kuliah duluan, siapa yang kerja duluan, siapa yang menikah duluan, siapa yang punya anak duluan dan sebagainya. Kalau saya baca quote dari internet nih, barusan aja baca hehe - Tidak ada perbandingan antara matahari dan bulan. Karena mereka akan bersinar saat waktunya tiba."
Aku menyeka air mata dan kembali tersenyum.
"Jadi santai saja. Yang penting tetap berusaha, usaha sebaik yang kita bisa. Berdoa, yakin kepada Allah. InsyaAllah suatu hari nanti, kita akan memetik hasilnya."
Langit siang itu, berubah menjadi abu-abu. Udara dingin pun mulai terasa. Aku bersyukur, untuk apapun yang terjadi dalam hidupku hingga detik ini.
"Saya duluan ya," perempuan itu pamit.
"Iya mbak."
Ia berdiri dan mulai berjalan ke arah tempat parkir.
Aku teringat sesuatu.
"Oh iya mbak, nama mbak siapa?"
Ia berbalik.
"Ghania," jawabnya sembari tersenyum.
"Saya Hanum. Senang berkenalan dan berbincang dengan mbak. Semoga bisa bertemu lagi lain waktu."
Kami pun saling melambaikan tangan.
Senin, 12 November 2018
Sebelum Menemukan
Senin pagi yang terasa berbeda. Sudah hampir setengah jam aku hanya duduk di kantin. Memandang kendaraan yang satu per satu mulai memasuki parkiran kantor. Teh panas di depanku juga tak lagi panas. Aku bahkan belum menyentuh bekal sarapan pagiku.
Perempuan yang baru saja turun dari mobil, membuatku mengingat kembali masa laluku. Dia adalah teman lamaku di SMA. Dulu dan hingga detik ini, aku diam-diam menyukainya. Dia cantik, sudah pasti. Rambutnya panjang dan hitam lebat. Matanya indah dan senyumnya seperti Dian Sastro. Jago menari dan juara Kompetisi Debat Bahasa Inggris Tingkat Nasional.
Aku menyukainya sejak kelas X. Kelas kami bersebelahan. Setiap pagi, aku sengaja duduk di depan kelas hanya untuk melihatnya berjalan dari parkiran menuju ruang kelas. Itu berlangsung selama tiga tahun masa SMA-ku. Hanya bisa memandangnya dari jauh tanpa berani untuk sekedar tersenyum dan menyapa.
Hingga hari terakhir Ujian Nasional, aku sengaja menunggunya. Namun hanya menunggu di balik pintu. Aku melihatnya bersama beberapa orang teman. Dia terlihat sedang tertawa. Mungkin menertawakan soal Bahasa Inggris yang terlampau mudah untuknya. Dan tetap saja, melihat tawanya yang mungkin untuk terakhir kali, tetap tidak bisa membuat keberanianku muncul. Aku menghela nafas, melihat dia semakin jauh berjalan.
***
Kantor tempatku bekerja memberikan waktu satu jam untuk istirahat. Setelah selesai sholat dzuhur, biasanya aku langsung menuju kantin untuk makan siang. Makanan favoritku adalah soto betawi. Makanan favorit sejak kecil. Bekerja di perusahaan multinasional, nyatanya tak membuatku lepas dari makanan yang satu itu.
Hari ini kantin ramai. Biasanya juga ramai, tapi tak seramai hari ini. Mungkin orang-orang sedang malas makan di luar kantor karena cuaca hari ini yang sangat panas. Dan seperti biasa, aku mengantri untuk pesan soto betawi.
"Soto betawinya satu ya Bu, sama air putih dingin," ujar seorang perempuan di depanku.
"Meja berapa mbak?"
Perempuan itu memandang sekeliling untuk mencari tempat duduk yang kosong. Ketika dia menoleh ke belakang, aku menyadari bahwa perempuan itu, adalah perempuan yang tadi pagi membuatku tak nafsu makan. Dia tidak mengenaliku. Ya, mana mungkin ada perempuan cantik idola semua siswa mengenal anak culun sepertiku.
Seusai memesan makanan, aku mencari tempat. Hanya ada satu tempat kosong. Di depan perempuan itu. Aku pun tak banyak pikir, karena sebenarnya ini adalah momen yang selama bertahun-tahun telah aku tunggu.
"Maaf, boleh saya duduk di sini? Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat duduk yang kosong," tanyaku sambil tersenyum.
***
Hari berikutnya, kami berencana untuk sarapan bersama di kantin. Keberanianku kemarin membuat kami akhirnya kenalan dan ngobrol banyak hal tentang masa SMA. Memang benar apa kata orang, segala sesuatu harus dicoba dulu, masalah hasil urusan belakang.
"Apa anak divisi finance selalu bawa bekal dan sarapan sendirian di kantin?"
Suara seseorang dari belakang mengagetkanku.
"Halo Kaila, selamat pagi."
Aku menyapanya dengan senyum bahagiaku.
"Selamat pagi juga, Ajun."
Ia pun tersenyum dan nampak sangat bahagia. Bahagia yang melebihi bahagiaku bisa mengajaknya sarapan bersama.
"Sepagi ini udah senyum-senyum Kai, ada kabar baik apa?" tanyaku penasaran.
Ia menunjukkan jari manisnya.
Pada detik pertama, aku tak menyadari apapun. Pada detik kedua, ketiga, keempat dan kelima, aku menyadari sesuatu. Ada cincin di jari manisnya. Iya benar, ada cincin. Cincin yang belum aku lihat kemarin.
Dan seketika, aku kembali kehilangan nafsu makanku.
"Kamu tahu Radit kan? Itu yang dulu selalu peringkat paralel satu. Aku dulu nge-fans sama dia. Tapi dia udah punya pacar."
Aku menatap perempuan di depanku, sambil terus mendengarkan ceritanya.
"Waktu libur semester empat, aku pulang ke Indo. Dia ngontak aku dan kita ketemuan. Setelah pertemuan itu, selang beberapa minggu kita jadian."
"Lalu?"
Aku pura-pura antusias dengan ceritanya. Padahal? Semua sudah campur aduk.
"Laluuu, tadi malam dia ngelamar aku."
Ia sekali lagi menunjukkan cincin di jari manisnya, yang aku rasa, harganya berkali-kali lipat dari gajiku. Bahkan mungkin, harganya setara dengan bonusku tahun ini. Kalau dihitung, bonusku sekitar dua puluh kali lipat dari gaji bulananku.
Ah, persetan dengan harga cincin itu. Kaila sekarang sedang sangat bahagia. Aku pun tidak tahu harus berkata apa. Karena jujur, hingga detik ini, aku masih sangat menyukainya.
"Selamat ya."
Pada akhirnya, hanya itu yang bisa aku ucapkan.
***
Hidup memang terkadang lucu. Banyak yang berjuang, meskipun tahu apa yang diperjuangkan mungkin tidak akan berhasil, tapi mereka tetap mencoba. Dan aku salah satunya.
Kalau boleh jujur, semua yang aku lakukan selepas masa SMA, adalah untuk Kaila. Aku sudah mengatakan ini pada diriku, bahwa suatu hari nanti ketika aku sudah sukses, aku akan menemuinya dan mengajak ia bicara. Aku sama sekali tidak peduli pada jawaban yang akan aku terima.
Dan pagi ini, aku telah mendapat jawaban itu. Jawaban atas apa yang selama ini aku perjuangkan dan aku doakan.
Tidak apa-apa. Semua sudah digariskan. Bahkan sebelum aku lahir. Setidaknya, aku bukan lagi seorang pengecut. Aku sudah berani mengajaknya berkenalan dan berbicara banyak dengannya.
"Ajun," seseorang membuyarkan lamunanku.
Beberapa menit yang lalu, Kaila sudah selesai sarapan dan pamit karena ia ada meeting pagi.
"Mila?"
Perempuan di belakangku tersenyum.
Suatu hari nanti, pasti akan kutemukan seseorang yang lain.
Senin, 05 November 2018
Orang Ketiga
Orang ketiga itu,
seperti variabel moderator
Ikut menentukan arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen
Dan tak jarang,
memperlemah hubungan keduanya
Makanya,
variabel moderator itu harusnya dibuang
*btw ini tersimpan di note, lebih dari satu tahun lalu ketika sedang belajar efek interaksi*
Jumat, 26 Oktober 2018
Sabtu, 13 Oktober 2018
Sebuah Lagu
Suatu hari, seseorang mengirimkan pesan singkat padaku.
"Aku ikut lomba nyanyi di radio, nanti malem dengerin ya."
Satu jam sebelum acara dimulai, aku sudah di kamar kakakku, duduk manis di depan radio kesayangannya.
Jaman dulu, sebelum ada smartphone, radio menjadi barang yang istimewa. Kita bisa mendengarkan lagu-lagu hits pada masa itu, hingga mengirimkan pesan untuk seseorang yang kita kagumi.
Aku jadi ingat, dulu di samping rumahku, ada bengkel yang sering memutar radio dengan suara yang sangat keras. Ketika lagu Buka Hatimu dari Armada diputar, aku selalu keluar rumah. Duduk di teras, menikmati lagu dan bersenandung pelan.
Aku juga pernah mengirimkan salam untuk seseorang. Sebenarnya iseng saja. Ketika pesanku dibacakan oleh penyiar radio, aku langsung tertawa. Dan tentu saja, juga berharap si dia sedang mendengarkan radio yang sama.
Ah, rasanya ingin kembali ke masa itu.
Peserta pertama, seorang perempuan. Namanya tidak asing. Sungguh, aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sepertinya seseorang pernah bercerita tentang dia. Tapi, aku lupa.
"Di dunia ini banyak orang yang punya nama sama," batinku.
Suara perempuan itu sangat indah. Aku mendengarkan ia bernyanyi dengan mata tertutup. Lagu dan suaranya menyatu, membuat siapa saja yang mendengarkan pasti terbawa suasana.
Ada lima peserta dalam lomba itu. Dan dia, mendapat giliran terakhir.
...
Terimakasih cinta
Untuk segalanya
Kau berikan lagi kesempatan itu
...
Sungguh di luar dugaan. Seseorang yang aku kagumi, ternyata pandai bernyanyi. Dan demi apapun, rasa kagumku kala itu bertambah.
"Suaramu bagus." pujiku dalam sebuah pesan singkat.
"Terimakasih. Kamu tahu tidak? Perempuan yang tampil pertama, dia adalah mantan kekasihku. Dan, aku lupa belum cerita. Dia bersedia menerimaku kembali." balasnya.
Aku terdiam.
Ternyata, aku tidak lupa.
Perempuan itu, benar dia.
Kamis, 04 Oktober 2018
Tetap Yakin
Hari ini,
kembali berjuang
Berangkat pagi,
tiba sore
Kata ibu,
Tak apa bersusah sekarang
Kelak,
akan bahagia juga
Tak usah cemas,
Tuhan pasti menepati janji-Nya
Tetap yakin,
dan berikan yang terbaik
kembali berjuang
Berangkat pagi,
tiba sore
Kata ibu,
Tak apa bersusah sekarang
Kelak,
akan bahagia juga
Tak usah cemas,
Tuhan pasti menepati janji-Nya
Tetap yakin,
dan berikan yang terbaik
Langganan:
Postingan (Atom)