Kedai
kopi ini sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Beberapa lampunya sudah mulai
dimatikan. Tak ada satu pelanggan pun yang masih bertahan di sini kecuali aku. Pelayan
yang lalu lalang membereskan meja telah berulang kali melirik tajam ke arahku,
namun sayangnya aku tak peduli.
Malam
ini tak ada yang ingin aku lakukan, selain duduk di sebuah kursi yang berada dekat
dengan jendela. Kursi itu menghadap tepat ke taman kota. Ketika sore menjelang,
bisa terlihat pemandangan senja yang indah dari sini. Sedangkan ketika malam
hari, lampu-lampu taman kota yang berwarna-warni akan terlihat begitu
menakjubkan.
Aku
lupa kapan terakhir kali aku datang ke kedai kecil ini. Mungkin sekitar tiga tahun
yang lalu. Aku sering datang ke tempat ini bersama dengan teman-temanku,
awalnya. Namun setelah aku memiliki Ane, aku lebih sering nongkrong di tempat
ini dengan dia. Ane adalah tunanganku. Dia gadis yang manis dan menyenangkan.
Terlalu
banyak memori yang aku habiskan bersamanya di kedai kecil ini. Aku dan Ane
sama-sama penikmat kopi, dan hanya di kedai inilah kami menemukan kopi terenak
dari semua kedai kopi yang ada di Bandung.
Aku
juga menyatakan perasaanku padanya di kedai kecil ini. Ketika itu aku dan dia
masih sama-sama duduk di bangku kelas tiga SMA. Aku tahu dia anak rumahan.
Ketika itu sangat sulit sekali untuk mengajak dia pergi. Sampai pada suatu hari
aku memberanikan diri untuk mengajak Ane pergi. Aku meminta ijin terlebih dahulu
kepada ayah Ane yang sangat over pretective padanya.
“Selamat
malam, Om.” sapaku pada ayah Ane malam itu.
“Mau
cari siapa ?” Ayah Ane yang lebih mirip anggota TNI pun menjawab dengan tegas
hingga membuatku sedikit mengernyitkan dahi.
“Ng...
saya cari Ane, Om. Sekalian saya mau minta ijin buat...” Aku belum selesai
melanjutkan perkataanku ketika ayah Ane membentakku.
“Ane
tak ada di rumah. Kau pergi saja.”
Seketika itu jantungku rasanya ingin
copot. Sebelumnya, aku tak pernah merasakan perasaan sehebat ini terhadap teman
wanitaku. Ane yang pertama membuat jantungku berdetak ketika aku melihat wajah
manisnya. Ane yang pertama membuatku merasa gugup ketika harus berbicara
dengannya meskipun hanya sebentar saja.
Namun aku tak putus asa. Tekadku
untuk mengajak Ane pergi malam itu sudah bulat. Aku kembali mengetuk pintu
rumah Ane dan berusaha membujuk ayah Ane untuk mengijinkan putri kesayangannya
pergi bersamaku.
Akhirnya,
meskipun dengan perdebatan panjang yang hampir tak selesai, ayah Ane
mengijinkan Ane pergi bersamaku.
“Ingat,
kau harus memulangkan putriku tak kurang dari pukul sebelas malam.” kata ayah Ane.
“Siap,
Om.” Aku melirik ke arah Ane yang sedang tersenyum manis pada ayahnya. Sesaat
kemudian, senyum manis itu tertuju padaku. Seketika itu pula jantungku berdetak
ratusan kali lebih cepat.
Aku tahu Ane suka minum kopi baru
ketika aku mengajaknya keluar malam itu. “Kau mau kemana ?” tanyaku padanya
yang sedang memeluk erat punggungku saat aku memboncengnya dengan motorku. “Aku
ingin minum kopi saja, kau tahu di mana kedai kopi yang enak dan nyaman ?” Aku
berpikir sejenak, lalu terbayang kedai kecil ini yang biasa aku kunjungi bersama
dengan teman-temanku. “Kurasa aku tahu. Kau berpegangan saja ya, aku akan
mengajakmu ke tempat yang kau mau.” Ane tak menjawabnya, namun dia memelukku
semakin erat.
Beberapa menit kemudian aku dan Ane
sampai di depan sebuah kedai kecil. Aku bisa melihat kekaguman di raut wajah
manis Ane ketika kami sampai di dalam. Aku mengajak Ane duduk di kursi yang
berhadapan langsng dengan taman. Lampu taman yang berkelap kelip dengan
indahnya, lalu lalang orang-orang yang sedang menikmati malam minggu, dan
angkasa dengan hiasan bulan dan bintang yang bersinar dengan terangnya.
Kombinasi yang sempurna.
Aku mulai gugup, apalagi melihat Ane
yang tak henti hentinya tersenyum. Aku bingung harus memulai pembicaraan dari
mana.
“Kau
kenapa ?” Pada akhirnya Ane lah yang memulai pembiacaraan malam itu.
“Tak
apa-apa, aku hanya sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan.” Ane kembali
menatapku dan tersenyum.
Aku membiarkan Ane menikmati
pemandangan di depannya sebelum aku memegang tangannya. “Ane... be with me,
will you ?” Ane dengan sekejap menoleh ke arahku. Aku sudah berusaha mengatur
degup di dadaku. Tapi aku tak berhasil. Mungkin, Ane juga mendengar degup itu
yang semakin keras.
“Yes,
I will.”
Tak ada kata yang lebih indah yang
aku dengar malam itu selain kata yang baru saja diucapkan oleh Ane.
Malam itu benar-benar malam yang tak
akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Meskipun semuanya tak lagi sama seperti
malam ini, meskipun raga Ane tak bisa lagi kurengkuh, meskipun jarak di antara
kita tak lagi tentang jarak yang bisa dihitung dengan satuan meter, tetapi
kenangan-kenangan yang tercipta antara aku dan Ane tak akan pernah aku lupakan.
Miss you so bad, my girl, Ane.