Rabu, 03 September 2014

Ketika Dia Tak Lagi Berada di Sampingku



Kedai kopi ini sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Beberapa lampunya sudah mulai dimatikan. Tak ada satu pelanggan pun yang masih bertahan di sini kecuali aku. Pelayan yang lalu lalang membereskan meja telah berulang kali melirik tajam ke arahku, namun sayangnya aku tak peduli.
Malam ini tak ada yang ingin aku lakukan, selain duduk di sebuah kursi yang berada dekat dengan jendela. Kursi itu menghadap tepat ke taman kota. Ketika sore menjelang, bisa terlihat pemandangan senja yang indah dari sini. Sedangkan ketika malam hari, lampu-lampu taman kota yang berwarna-warni akan terlihat begitu menakjubkan.
Aku lupa kapan terakhir kali aku datang ke kedai kecil ini. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Aku sering datang ke tempat ini bersama dengan teman-temanku, awalnya. Namun setelah aku memiliki Ane, aku lebih sering nongkrong di tempat ini dengan dia. Ane adalah tunanganku. Dia gadis yang manis dan menyenangkan.
Terlalu banyak memori yang aku habiskan bersamanya di kedai kecil ini. Aku dan Ane sama-sama penikmat kopi, dan hanya di kedai inilah kami menemukan kopi terenak dari semua kedai kopi yang ada di Bandung.
Aku juga menyatakan perasaanku padanya di kedai kecil ini. Ketika itu aku dan dia masih sama-sama duduk di bangku kelas tiga SMA. Aku tahu dia anak rumahan. Ketika itu sangat sulit sekali untuk mengajak dia pergi. Sampai pada suatu hari aku memberanikan diri untuk mengajak Ane pergi. Aku meminta ijin terlebih dahulu kepada ayah Ane yang sangat over pretective padanya.
“Selamat malam, Om.” sapaku pada ayah Ane malam itu.
“Mau cari siapa ?” Ayah Ane yang lebih mirip anggota TNI pun menjawab dengan tegas hingga membuatku sedikit mengernyitkan dahi.
“Ng... saya cari Ane, Om. Sekalian saya mau minta ijin buat...” Aku belum selesai melanjutkan perkataanku ketika ayah Ane membentakku.
“Ane tak ada di rumah. Kau pergi saja.”
            Seketika itu jantungku rasanya ingin copot. Sebelumnya, aku tak pernah merasakan perasaan sehebat ini terhadap teman wanitaku. Ane yang pertama membuat jantungku berdetak ketika aku melihat wajah manisnya. Ane yang pertama membuatku merasa gugup ketika harus berbicara dengannya meskipun hanya sebentar saja.
            Namun aku tak putus asa. Tekadku untuk mengajak Ane pergi malam itu sudah bulat. Aku kembali mengetuk pintu rumah Ane dan berusaha membujuk ayah Ane untuk mengijinkan putri kesayangannya pergi bersamaku.
Akhirnya, meskipun dengan perdebatan panjang yang hampir tak selesai, ayah Ane mengijinkan Ane pergi bersamaku.
“Ingat, kau harus memulangkan putriku tak kurang dari pukul sebelas malam.” kata ayah Ane.
“Siap, Om.” Aku melirik ke arah Ane yang sedang tersenyum manis pada ayahnya. Sesaat kemudian, senyum manis itu tertuju padaku. Seketika itu pula jantungku berdetak ratusan kali lebih cepat.
            Aku tahu Ane suka minum kopi baru ketika aku mengajaknya keluar malam itu. “Kau mau kemana ?” tanyaku padanya yang sedang memeluk erat punggungku saat aku memboncengnya dengan motorku. “Aku ingin minum kopi saja, kau tahu di mana kedai kopi yang enak dan nyaman ?” Aku berpikir sejenak, lalu terbayang kedai kecil ini yang biasa aku kunjungi bersama dengan teman-temanku. “Kurasa aku tahu. Kau berpegangan saja ya, aku akan mengajakmu ke tempat yang kau mau.” Ane tak menjawabnya, namun dia memelukku semakin erat.
            Beberapa menit kemudian aku dan Ane sampai di depan sebuah kedai kecil. Aku bisa melihat kekaguman di raut wajah manis Ane ketika kami sampai di dalam. Aku mengajak Ane duduk di kursi yang berhadapan langsng dengan taman. Lampu taman yang berkelap kelip dengan indahnya, lalu lalang orang-orang yang sedang menikmati malam minggu, dan angkasa dengan hiasan bulan dan bintang yang bersinar dengan terangnya. Kombinasi yang sempurna.
            Aku mulai gugup, apalagi melihat Ane yang tak henti hentinya tersenyum. Aku bingung harus memulai pembicaraan dari mana.
“Kau kenapa ?” Pada akhirnya Ane lah yang memulai pembiacaraan malam itu.
“Tak apa-apa, aku hanya sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan.” Ane kembali menatapku dan tersenyum.
            Aku membiarkan Ane menikmati pemandangan di depannya sebelum aku memegang tangannya. “Ane... be with me, will you ?” Ane dengan sekejap menoleh ke arahku. Aku sudah berusaha mengatur degup di dadaku. Tapi aku tak berhasil. Mungkin, Ane juga mendengar degup itu yang semakin keras.
“Yes, I will.”
            Tak ada kata yang lebih indah yang aku dengar malam itu selain kata yang baru saja diucapkan oleh Ane.
            Malam itu benar-benar malam yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Meskipun semuanya tak lagi sama seperti malam ini, meskipun raga Ane tak bisa lagi kurengkuh, meskipun jarak di antara kita tak lagi tentang jarak yang bisa dihitung dengan satuan meter, tetapi kenangan-kenangan yang tercipta antara aku dan Ane tak akan pernah aku lupakan. Miss you so bad, my girl, Ane.