Senin, 12 November 2018

Sebelum Menemukan

Senin pagi yang terasa berbeda. Sudah hampir setengah jam aku hanya duduk di kantin. Memandang kendaraan yang satu per satu mulai memasuki parkiran kantor. Teh panas di depanku juga tak lagi panas. Aku bahkan belum menyentuh bekal sarapan pagiku. 

Perempuan yang baru saja turun dari mobil, membuatku mengingat kembali masa laluku. Dia adalah teman lamaku di SMA. Dulu dan hingga detik ini, aku diam-diam menyukainya. Dia cantik, sudah pasti. Rambutnya panjang dan hitam lebat. Matanya indah dan senyumnya seperti Dian Sastro. Jago menari dan juara Kompetisi Debat Bahasa Inggris Tingkat Nasional. 

Aku menyukainya sejak kelas X. Kelas kami bersebelahan. Setiap pagi, aku sengaja duduk di depan kelas hanya untuk melihatnya berjalan dari parkiran menuju ruang kelas. Itu berlangsung selama tiga tahun masa SMA-ku. Hanya bisa memandangnya dari jauh tanpa berani untuk sekedar tersenyum dan menyapa. 

Hingga hari terakhir Ujian Nasional, aku sengaja menunggunya. Namun hanya menunggu di balik pintu. Aku melihatnya bersama beberapa orang teman. Dia terlihat sedang tertawa. Mungkin menertawakan soal Bahasa Inggris yang terlampau mudah untuknya. Dan tetap saja, melihat tawanya yang mungkin untuk terakhir kali, tetap tidak bisa membuat keberanianku muncul. Aku menghela nafas, melihat dia semakin jauh berjalan. 

***

Kantor tempatku bekerja memberikan waktu satu jam untuk istirahat. Setelah selesai sholat dzuhur, biasanya aku langsung menuju kantin untuk makan siang. Makanan favoritku adalah soto betawi. Makanan favorit sejak kecil. Bekerja di perusahaan multinasional, nyatanya tak membuatku lepas dari makanan yang satu itu. 

Hari ini kantin ramai. Biasanya juga ramai, tapi tak seramai hari ini. Mungkin orang-orang sedang malas makan di luar kantor karena cuaca hari ini yang sangat panas. Dan seperti biasa, aku mengantri untuk pesan soto betawi. 

"Soto betawinya satu ya Bu, sama air putih dingin," ujar seorang perempuan di depanku. 

"Meja berapa mbak?" 

Perempuan itu memandang sekeliling untuk mencari tempat duduk yang kosong. Ketika dia menoleh ke belakang, aku menyadari bahwa perempuan itu, adalah perempuan yang tadi pagi membuatku tak nafsu makan. Dia tidak mengenaliku. Ya, mana mungkin ada perempuan cantik idola semua siswa mengenal anak culun sepertiku. 

Seusai memesan makanan, aku mencari tempat. Hanya ada satu tempat kosong. Di depan perempuan itu. Aku pun tak banyak pikir, karena sebenarnya ini adalah momen yang selama bertahun-tahun telah aku tunggu. 

"Maaf, boleh saya duduk di sini? Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat duduk yang kosong," tanyaku sambil tersenyum. 

***

Hari berikutnya, kami berencana untuk sarapan bersama di kantin. Keberanianku kemarin membuat kami akhirnya kenalan dan ngobrol banyak hal tentang masa SMA. Memang benar apa kata orang, segala sesuatu harus dicoba dulu, masalah hasil urusan belakang. 

"Apa anak divisi finance selalu bawa bekal dan sarapan sendirian di kantin?" 

Suara seseorang dari belakang mengagetkanku. 

"Halo Kaila, selamat pagi."

Aku menyapanya dengan senyum bahagiaku. 

"Selamat pagi juga, Ajun."

Ia pun tersenyum dan nampak sangat bahagia. Bahagia yang melebihi bahagiaku bisa mengajaknya sarapan bersama. 

"Sepagi ini udah senyum-senyum Kai, ada kabar baik apa?" tanyaku penasaran. 

Ia menunjukkan jari manisnya. 

Pada detik pertama, aku tak menyadari apapun. Pada detik kedua, ketiga, keempat dan kelima, aku menyadari sesuatu. Ada cincin di jari manisnya. Iya benar, ada cincin. Cincin yang belum aku lihat kemarin. 

Dan seketika, aku kembali kehilangan nafsu makanku. 

"Kamu tahu Radit kan? Itu yang dulu selalu peringkat paralel satu. Aku dulu nge-fans sama dia. Tapi dia udah punya pacar."

Aku menatap perempuan di depanku, sambil terus mendengarkan ceritanya. 

"Waktu libur semester empat, aku pulang ke Indo. Dia ngontak aku dan kita ketemuan. Setelah pertemuan itu, selang beberapa minggu kita jadian." 

"Lalu?"

Aku pura-pura antusias dengan ceritanya. Padahal? Semua sudah campur aduk.  

"Laluuu, tadi malam dia ngelamar aku." 

Ia sekali lagi menunjukkan cincin di jari manisnya, yang aku rasa, harganya berkali-kali lipat dari gajiku. Bahkan mungkin, harganya setara dengan bonusku tahun ini. Kalau dihitung, bonusku sekitar dua puluh kali lipat dari gaji bulananku. 

Ah, persetan dengan harga cincin itu. Kaila sekarang sedang sangat bahagia. Aku pun tidak tahu harus berkata apa. Karena jujur, hingga detik ini, aku masih sangat menyukainya. 

"Selamat ya."

Pada akhirnya, hanya itu yang bisa aku ucapkan. 

***

Hidup memang terkadang lucu. Banyak yang berjuang, meskipun tahu apa yang diperjuangkan mungkin tidak akan berhasil, tapi mereka tetap mencoba. Dan aku salah satunya. 

Kalau boleh jujur, semua yang aku lakukan selepas masa SMA, adalah untuk Kaila. Aku sudah mengatakan ini pada diriku, bahwa suatu hari nanti ketika aku sudah sukses, aku akan menemuinya dan mengajak ia bicara. Aku sama sekali tidak peduli pada jawaban yang akan aku terima. 

Dan pagi ini, aku telah mendapat jawaban itu. Jawaban atas apa yang selama ini aku perjuangkan dan aku doakan. 

Tidak apa-apa. Semua sudah digariskan. Bahkan sebelum aku lahir. Setidaknya, aku bukan lagi seorang pengecut. Aku sudah berani mengajaknya berkenalan dan berbicara banyak dengannya. 

"Ajun," seseorang membuyarkan lamunanku. 

Beberapa menit yang lalu, Kaila sudah selesai sarapan dan pamit karena ia ada meeting pagi. 

"Mila?"

Perempuan di belakangku tersenyum. 

Suatu hari nanti, pasti akan kutemukan seseorang yang lain. 

Senin, 05 November 2018

Orang Ketiga

Orang ketiga itu, 
seperti variabel moderator 

Ikut menentukan arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen 

Dan tak jarang,
memperlemah hubungan keduanya

Makanya,
variabel moderator itu harusnya dibuang 

*btw ini tersimpan di note, lebih dari satu tahun lalu ketika sedang belajar efek interaksi*