Minggu, 06 Januari 2019

Sebuah Percakapan

Job fair kali ini luar biasa ramai. Padahal hari sudah semakin siang, tapi banyak orang yang masih bertahan dan memilih untuk berdesak-desakan. 

Aku mulai sesak napas karena beberapa menit tidak bergerak di antara ratusan orang. Setelah aku bisa bergerak dan menemukan jalan keluar, aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan beristirahat di bawah pohon.

Seseorang duduk di sampingku. Seorang perempuan cantik berjilbab merah. 

"Capek ya mbak?" tanyanya memulai percakapan. 

"Iyaaa," jawabku dengan wajah yang sudah penuh dengan keringat. 

"Saya sudah dua tahun lulus kuliah tapi belum dapat kerjaan."

"Oh ya mbak? Kalau saya baru satu tahun."

Perempuan di sampingku tersenyum. 

"Nggak apa-apa, nanti juga ada waktunya."

Jeda beberapa menit. Aku melihat perempuan itu memandang lurus ke depan. Entah apa yang sedang ia pikirkan. 

"Lalu selama ini, apa aktivitas mbak di rumah?" aku bertanya dengan hati-hati. 

Ia menoleh, dan nampak kaget. 

"Saya di rumah... bantu orangtua. Kapan lagi bisa berbakti sama orangtua. Siapa tahu setelah ini, saya dapat kerjaan di tempat yang jauh. Mungkin Allah ingin saya lebih lama di rumah, karena setelah ini saya akan jarang pulang. Selalu berpikir positif, ada hikmah di balik semua ketetapan yang sudah Allah berikan untuk kita." 

Aku menunduk dan terdiam. Seperti memperoleh tamparan keras. Selama ini, aku jarang sekali berpikir positif. Aku selalu membandingkan diriku dengan orang lain. Dan tak jarang, aku merasa iri dengan mereka. 

"Rejeki kan bukan hanya tentang memperoleh pekerjaan. Rejeki itu banyak macamnya. Kita ada di sini saja, itu sudah rejeki. Karena kita diberikan kekuatan untuk terus berusaha mencari pekerjaan. Kita sehat, orangtua dan keluarga di rumah sehat. Sekolah adik-adik kita lancar, itu juga rejeki." 

Aku semakin menunduk. 

"Allah itu Maha Baik. Percayalah."

Perempuan di sampingku itu menepuk bahuku pelan. Rasanya aku ingin menangis. Aku malu. Aku seringkali marah-marah dan berprasangka buruk. 

"Sekarang mungkin kita tidak tahu alasan mengapa Allah memberikan jalan hidup seperti ini untuk kita. Pasti pernah ada masanya kita marah, berprasangka buruk, hingga tidak percaya. Tapi nanti, suatu saat kita akan tahu, bahwa rencana Allah itu indah dan selalu tepat waktu. " 

Sekarang, aku benar-benar menangis. 

"Jangan pernah merasa kalah dari yang lain. Kita hidup di dunia bukan untuk memperebutkan siapa yang lulus kuliah duluan, siapa yang kerja duluan, siapa yang menikah duluan, siapa yang punya anak duluan dan sebagainya. Kalau saya baca quote dari internet nih, barusan aja baca hehe - Tidak ada perbandingan antara matahari dan bulan. Karena mereka akan bersinar saat waktunya tiba." 

Aku menyeka air mata dan kembali tersenyum. 

"Jadi santai saja. Yang penting tetap berusaha, usaha sebaik yang kita bisa. Berdoa, yakin kepada Allah. InsyaAllah suatu hari nanti, kita akan memetik hasilnya."

Langit siang itu, berubah menjadi abu-abu. Udara dingin pun mulai terasa. Aku bersyukur, untuk apapun yang terjadi dalam hidupku hingga detik ini. 

"Saya duluan ya," perempuan itu pamit. 

"Iya mbak."

Ia berdiri dan mulai berjalan ke arah tempat parkir. 

Aku teringat sesuatu. 

"Oh iya mbak, nama mbak siapa?"

Ia berbalik. 

"Ghania," jawabnya sembari tersenyum.

"Saya Hanum. Senang berkenalan dan berbincang dengan mbak. Semoga bisa bertemu lagi lain waktu." 

Kami pun saling melambaikan tangan.