Sabtu, 28 Januari 2017

kisah di balik senja, sebuah cerita tentang kepergian

Suatu hari, ketika senja di bukit harapan, untuk pertama kalinya aku melihat, ada rasa yang lebih dari sekedar teman di antara kalian. Rasanya campur aduk, antara sedih dan tidak percaya. Aku sedih karena ternyata, kamu memanfaatkan kesalahanku yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa kamu harus pergi. Namun, kamu memperbesar masalah itu untuk menutupi kesalahan yang kamu buat. Ya, kesalahan karena jatuh pada hati yang lain. 

Aku tidak menyalahkanmu. Semua orang berhak mendekatimu, semua orang pun berhak menyukaimu. Tapi, aku tidak percaya, kamu dengan mudahnya memberikan celah untuk dia masuk, menggantikan aku yang tak selalu bisa berada di sampingmu setiap saat. 

Sedari awal, tak banyak yang aku minta. Seperti kebanyakan wanita lain, yang hanya ingin prianya memberikan kabar, jujur dan mau terbuka. Aku tidak pernah memintamu untuk selalu memperlakukanku dengan manis, memberikan kejutan setiap saat, berkata manis yang akan membuatku senyum sepanjang hari, mengantar dan menjemputku kemana-mana, sering memberikan hadiah, mengajak makan malam romantis, nonton dan hal lainnya yang mungkin kerap dilakukan oleh pasangan lain di luar sana. Karena keinginanku itu, mungkin kamu mengira, aku selalu memintamu untuk menjadi seperti apa yang aku mau. Bukan, aku sama sekali tidak ingin merubahmu menjadi seperti apa yang aku mau. Aku hanya ingin, dalam jarak yang selama ini ada di antara kita, aku tidak semakin risau, karena aku tahu kamu akan baik-baik saja di sana. 

Jangan kamu kira, setiap kali aku marah karena kamu tak memberi kabar, aku tidak mendukung semua yang kamu lakukan di sana. Tidak sama sekali, karena dalam perbincanganku dengan Tuhan, namamu selalu ada menjadi yang kusebut. Berharap kamu baik-baik di sana, berharap kamu dapat mengejar apa yang menjadi impian kamu. Aku pernah bilang kan, aku selalu semangat kalau ada kamu. Ada bukan berarti kamu di sampingku, adamu cukup dengan memberikan kabar, aku sudah tenang dan sepanjang hari aku pun akan merasa semangat. Namun, kamu sama sekali tidak mau berusaha tentang hal ini denganku. Kamu egois, selalu ingin dimengerti. Dan sekarang, aku bisa apa, kalau kamu inginnya melepaskan, sementara aku ingin bertahan. 

Aku tidak bisa mendefinisikan kedekatan kalian, entah itu hanya perasaan sesaat karena kejenuhan dengan pasangan masing-masing atau kalian memang sungguh-sungguh sudah saling jatuh cinta. Apapun itu, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.

Tapi yang perlu kamu tahu, apa yang kamu lakukan ke orang lain, akan kembali ke kamu. Percaya nggak percaya. Bukan aku mendoakan hal yang buruk, justru aku mendoakan, semoga kamu bahagia dan semoga dia benar-benar baik dengan kamu. Semoga dia menjaga apa yang dulu selalu aku jaga. 

Goodbye, 25. I'll be fine... without you.

Sby, Ags2016

Rabu, 03 September 2014

Ketika Dia Tak Lagi Berada di Sampingku



Kedai kopi ini sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Beberapa lampunya sudah mulai dimatikan. Tak ada satu pelanggan pun yang masih bertahan di sini kecuali aku. Pelayan yang lalu lalang membereskan meja telah berulang kali melirik tajam ke arahku, namun sayangnya aku tak peduli.
Malam ini tak ada yang ingin aku lakukan, selain duduk di sebuah kursi yang berada dekat dengan jendela. Kursi itu menghadap tepat ke taman kota. Ketika sore menjelang, bisa terlihat pemandangan senja yang indah dari sini. Sedangkan ketika malam hari, lampu-lampu taman kota yang berwarna-warni akan terlihat begitu menakjubkan.
Aku lupa kapan terakhir kali aku datang ke kedai kecil ini. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Aku sering datang ke tempat ini bersama dengan teman-temanku, awalnya. Namun setelah aku memiliki Ane, aku lebih sering nongkrong di tempat ini dengan dia. Ane adalah tunanganku. Dia gadis yang manis dan menyenangkan.
Terlalu banyak memori yang aku habiskan bersamanya di kedai kecil ini. Aku dan Ane sama-sama penikmat kopi, dan hanya di kedai inilah kami menemukan kopi terenak dari semua kedai kopi yang ada di Bandung.
Aku juga menyatakan perasaanku padanya di kedai kecil ini. Ketika itu aku dan dia masih sama-sama duduk di bangku kelas tiga SMA. Aku tahu dia anak rumahan. Ketika itu sangat sulit sekali untuk mengajak dia pergi. Sampai pada suatu hari aku memberanikan diri untuk mengajak Ane pergi. Aku meminta ijin terlebih dahulu kepada ayah Ane yang sangat over pretective padanya.
“Selamat malam, Om.” sapaku pada ayah Ane malam itu.
“Mau cari siapa ?” Ayah Ane yang lebih mirip anggota TNI pun menjawab dengan tegas hingga membuatku sedikit mengernyitkan dahi.
“Ng... saya cari Ane, Om. Sekalian saya mau minta ijin buat...” Aku belum selesai melanjutkan perkataanku ketika ayah Ane membentakku.
“Ane tak ada di rumah. Kau pergi saja.”
            Seketika itu jantungku rasanya ingin copot. Sebelumnya, aku tak pernah merasakan perasaan sehebat ini terhadap teman wanitaku. Ane yang pertama membuat jantungku berdetak ketika aku melihat wajah manisnya. Ane yang pertama membuatku merasa gugup ketika harus berbicara dengannya meskipun hanya sebentar saja.
            Namun aku tak putus asa. Tekadku untuk mengajak Ane pergi malam itu sudah bulat. Aku kembali mengetuk pintu rumah Ane dan berusaha membujuk ayah Ane untuk mengijinkan putri kesayangannya pergi bersamaku.
Akhirnya, meskipun dengan perdebatan panjang yang hampir tak selesai, ayah Ane mengijinkan Ane pergi bersamaku.
“Ingat, kau harus memulangkan putriku tak kurang dari pukul sebelas malam.” kata ayah Ane.
“Siap, Om.” Aku melirik ke arah Ane yang sedang tersenyum manis pada ayahnya. Sesaat kemudian, senyum manis itu tertuju padaku. Seketika itu pula jantungku berdetak ratusan kali lebih cepat.
            Aku tahu Ane suka minum kopi baru ketika aku mengajaknya keluar malam itu. “Kau mau kemana ?” tanyaku padanya yang sedang memeluk erat punggungku saat aku memboncengnya dengan motorku. “Aku ingin minum kopi saja, kau tahu di mana kedai kopi yang enak dan nyaman ?” Aku berpikir sejenak, lalu terbayang kedai kecil ini yang biasa aku kunjungi bersama dengan teman-temanku. “Kurasa aku tahu. Kau berpegangan saja ya, aku akan mengajakmu ke tempat yang kau mau.” Ane tak menjawabnya, namun dia memelukku semakin erat.
            Beberapa menit kemudian aku dan Ane sampai di depan sebuah kedai kecil. Aku bisa melihat kekaguman di raut wajah manis Ane ketika kami sampai di dalam. Aku mengajak Ane duduk di kursi yang berhadapan langsng dengan taman. Lampu taman yang berkelap kelip dengan indahnya, lalu lalang orang-orang yang sedang menikmati malam minggu, dan angkasa dengan hiasan bulan dan bintang yang bersinar dengan terangnya. Kombinasi yang sempurna.
            Aku mulai gugup, apalagi melihat Ane yang tak henti hentinya tersenyum. Aku bingung harus memulai pembicaraan dari mana.
“Kau kenapa ?” Pada akhirnya Ane lah yang memulai pembiacaraan malam itu.
“Tak apa-apa, aku hanya sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan.” Ane kembali menatapku dan tersenyum.
            Aku membiarkan Ane menikmati pemandangan di depannya sebelum aku memegang tangannya. “Ane... be with me, will you ?” Ane dengan sekejap menoleh ke arahku. Aku sudah berusaha mengatur degup di dadaku. Tapi aku tak berhasil. Mungkin, Ane juga mendengar degup itu yang semakin keras.
“Yes, I will.”
            Tak ada kata yang lebih indah yang aku dengar malam itu selain kata yang baru saja diucapkan oleh Ane.
            Malam itu benar-benar malam yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Meskipun semuanya tak lagi sama seperti malam ini, meskipun raga Ane tak bisa lagi kurengkuh, meskipun jarak di antara kita tak lagi tentang jarak yang bisa dihitung dengan satuan meter, tetapi kenangan-kenangan yang tercipta antara aku dan Ane tak akan pernah aku lupakan. Miss you so bad, my girl, Ane.

Sabtu, 22 Desember 2012

Senja, Pelabuhan, Kamu, dan Dia

Suatu sore, menjelang senja, aku kembali menjelajahi pelabuhan. Membawa kamera kesayanganku, dan tentunya berjalan kesana-kemari untuk mencari objek gambar yang bagus. Di sela-sela jepretanku, aku melihat sosok yang begitu kukenal sedang duduk sendiri di sudut pelabuhan. Ya, dia adalah Romi. Seorang cowok yang sudah sejak lama aku cintai.
Aku mencoba mendekatinya, dan dia mengetahui kedatanganku. “Hai, Ami.” sapanya. “Hai juga, Rom. Boleh duduk di sini ?” tanyaku. “Boleh kok, duduk aja.” Romi tersenyum manis sekali sambil mempersilakan aku duduk di sampingnya. “Kamu lagi ngapain di sini ?” tanyanya. “Biasa ... jepret-jepret. Kalau kamu ?” jawabku sembari menunjukkan kameraku padanya. “Emm ... “ Romi memintaku untuk melihat ke arah yang ditunjuk oleh jemarinya. Aku tertegun. Yang aku lihat adalah seorang cewek cantik yang sedang berlari menuju ke arah kami. “Aku bersamanya.” kata Romi. Cewek itu terus memanggil Romi dari kejauhan. “Romi... aku baru saja mengambil bunga dari sana. Iniii, cantik kan ? ” Cewek itu menyodorkan seikat bunga warna-warni yang cantik.
Romi berdiri, mengambil bunga yang telah diikat rapi oleh cewek itu. Lalu mereka ... berpelukan. Aku hanya bisa tersenyum pahit. Bagaimana tidak ? Aku sudah lama mencintai Romi. Dan selama ini hubungan kami sangat dekat. Yang aku tahu, Romi tidak pernah mempunyai teman dekat selain aku. Tapi cewek itu, siapa dia ?
Lamunanku buyar. Romi mulai memperkenalkan cewek itu. “Ami ... berdiri dong. Kenalin, ini Mega. Pacarku ...” Tubuhku mendadak lemas mendengarnya. Aku menatap Romi dalam-dalam seolah meminta penjalsan sedetail mungkin atas semua ini. “Hey, Am ... kok bengong ?” Romi mengayunkan tangannya tepat di depan wajahku yang mendadak kusut. “Eh iya maaf ... aku Ami. Senang berkenalan denganmu.” kataku lirih sembari menjabat tangan Mega.
Aku memberikan senyum termanisku pada Mega, walau terkesan dipaksakan. Kami bertiga emudian duduk bersama di pelabuhan, mengobrol sekenanya. Tiba-tiba, aku mulai cemburu dengan kedekatan mereka berdua. Aku tak ingin berlama-lama berada di tempat ini. Akhirnya aku putuskan untuk pergi menjauh dari mereka. Aku pulang.
Apapun usaha yang aku lakukan untuk tetap terlihat tegar di hadapan mereka, aku tetaplah seorang wanita yang akan terluka bila melihat orang yang dicintainya bersama dengan orang lain, di depan mata.
“Senja, pelabuhan, kamu, dan dia adalah hal yang ingin aku lupakan secepatnya.” batinku.

Minggu, 16 Desember 2012

Aku masih ingat dengan jelas, kawan...


Aku masih ingat tentang tangisan itu
Aku masih ingat tentang rasa sakit itu
Waktu itu aku nyaris menyerah
Aku nyaris merobek kertas itu dan membuangnya di tempat sampah
Mereka semua tertawa, sedangkan aku ? 
Aku mengunci diri di kamar mandi, dan tiba-tiba keluar dengan  mata sembab
Tuhan tahu tentangku, dan tentang kalian
Tuhan juga tahu tentang ketidakjujuran itu