Keretaku melaju tepat pukul 10.45 dari Surabaya. Ini adalah pengalaman kesekian aku bepergian menggunakan kereta. Aku merasa ketagihan, naik kereta itu sangat menyenangkan. Kereta tidak sering berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Perjalanan pun menjadi nyaman, aku bisa menikmatinya sambil membaca buku.
Perjalanan kali ini, aku kembali ke kota yang menyimpan kenangan empat tahun masa kuliahku. Setelah selama satu tahun aku meninggalkannya. Apakah Jogja masih sama? Pertanyaan itu berulang kali memenuhi pikiranku. Apakah rasamu juga masih sama? Ah, aku bergegas menghilangkan pikiran itu.
Keretaku tiba di Stasiun Lempuyangan tepat pukul 16.45. Aku bergegas membereskan barang bawaanku. Aku membawa satu tas ransel dan satu tas besar yang aku jinjing. Selama hampir satu minggu, aku akan berada di Jogja untuk mengikuti serangkaian tes kerja.
Langit berwarna abu-abu ketika aku turun dari kereta. Sekarang memang sedang musim penghujan. Sejak berangkat dari Surabaya, matahari sudah malu-malu menunjukkan sinarnya.
Ketika menyusuri jalan menuju pintu keluar, gerimis tiba-tiba turun. Dan aku teringat bahwa aku belum sholat ashar. Aku bergegas menuju musholla yang berada dekat dengan pintu keluar. Aku kebingungan membawa barang bawaanku. Karena selain membawa tas jinjing besar, aku lupa bahwa aku juga membawa satu tas kecil yang berisi oleh-oleh dari ibu. Oh iya, selama di Jogja aku akan menginap di rumah saudaraku di Jalan Kusumanegara.
Tidak ada tempat duduk yang kosong di depan musholla. Aku mulai bingung meletakkan tas yang aku bawa. Karena tidak ada barang berharga di tas yang aku jinjing, akhirnya aku menitipkan tas itu pada seseorang berkaos abu-abu yang sedang membaca buku. Aku tidak mengenalnya, karena dia menggunakan topi, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya. Kalaupun aku bisa melihat wajahnya, belum tentu juga aku mengenalnya.
"Permisi mas, saya boleh nitip tas sebentar? Saya mau sholat," kataku kepadanya.
Laki-laki itu tidak mengangkat wajahnya. Ia masih asik membaca. Aku pun jadi merasa tak enak karena telah mengganggunya.
"Taruh saja tasnya," jawabnya kemudian.
Akhirnya ia menjawab, meski ia tetap tak mengangkat wajahnya. Tapi tunggu, aku seperti mengingat sesuatu. Suara itu. Mirip sekali dengan seseorang. Tapi mana mungkin? Bukankah dia? Tidak. Aku tidak boleh memikirkannya lagi.
"Baik mas, terimakasih."
Hanya itu yang pada akhirnya aku katakan. Aku pun mulai berjalan menuju musholla setelah kuletakkan tasku di depan laki-laki itu. Dari samping pun, aku tetap tak bisa melihat wajahnya. Entah sengaja atau tidak, tiba-tiba saja laki-laki itu menempelkan tangannya di pipi sebelah kiri. Sehingga wajahnya tertutup.
Selesai sholat, aku melihat ada kursi kosong di sebelah laki-laki itu. Aku pun bergegas kesana agar tidak ditempati orang.
"Terimakasih ya mas. Ngomong-ngomong masnya di sini lagi nunggu orang atau nunggu kereta?"
Aku beranikan diri untuk sedikit berbasa-basi. Tapi sebetulnya, aku sangat penasaran ingin segera melihat wajah laki-laki itu.
"Lagi nunggu orang," ujarnya dengan tetap menunduk membaca buku.
"Oh. Kalau begitu saya duluan ya mas."
"Hujannya makin deras. Di sini dulu aja."
Memang benar, hujan semakin deras. Aku pun duduk kembali dan meletakkan tasku.
Cukup lama kami terdiam. Aku rasa, laki-laki di sebelahku ini memang sedang tidak ingin diganggu. Aku pun hanya terpaku menatap derasnya hujan dengan pikiran yang masih riuh.
Suaranya mengingatkanku kepada kekasihku, dulu. Namanya Saka. Seseorang yang telah menemaniku dari awal masa kuliah hingga hari kelulusan tiba.
Aku mengenalnya karena kita satu jurusan. Dan kebetulan, kita mempunyai passion yang sama di bidang jurnalistik. Kita pun sama-sama menjadi bagian dari pers kampus.
Sampai pada akhirnya, hari kelulusan itu tiba. Dan membawa pergi harapan yang selalu aku upayakan.
Katanya, orangtuanya meminta ia untuk kembali ke Jakarta dan bekerja di sana. Karena ia merasa tidak bisa menjanjikan apapun kepadaku, ia memilih untuk mengakhiri hubungan kami.
Beberapa bulan yang lalu, aku baru tahu kalau ternyata Saka meninggalkanku bukan seperti apa yang ia katakan. Tetapi karena ia jatuh hati dengan wanita lain. Aku tak mengenal wanita yang mungkin sekarang adalah kekasihnya, tapi aku tahu bahwa mereka bertemu dan saling jatuh cinta ketika sama-sama magang di perusahaan media yang ada di Jakarta.
Saka memang sudah menyakitiku,tapi aku tak pernah bisa membencinya. Karena aku yang telah memilihnya dengan segala hal baik yang pernah ia lakukan untukku.
"Suka baca buku ya mas?"
Pertanyaan konyol. Harusnya aku tahu itu.
"Yaaa, seperti yang kamu lihat."
Laki-laki itu sedikit menggoyangkan bukunya.
"Oh."
Hening. Laki-laki itu tidak lagi merespon.
Peluit tanda kedatangan kereta mengagetkan kami. Tanpa ia sengaja, ia mengangkat wajahnya.
Dan di detik itulah, aku tahu bahwa laki-laki itu adalah dia. Saka.
"Suaramu nggak berubah, Ka."
"Aku sengaja. Aku tahu tadi kamu turun dari kereta."
"Sengaja untuk apa?"
"Apa kabar, Ra?" Saka mengulurkan tangannya.
"Kurang baik, sejak setahun lalu."
"Kamu belum melupakannya?"
Aku tersenyum.
"Bagaimana mungkin?"
"Sudah satu tahun, Ra."
"Lantas kenapa kalau sudah satu tahun?"
Mataku mulai panas. Aku hampir menangis.
"Rara..."
Saka tidak melanjutkan perkataannya. Seseorang datang dan mengagetkan kami. Seorang perempuan, sangat cantik, tingginya semampai dengan rambut panjang berponi yang dikuncir kuda.
Saka langsung berdiri dan memeluk perempuan itu. Senyum perempuan cantik itu langsung merekah. Aku bisa menebak, siapa perempuan itu.
"Ra, kenalin ini Natta..."
Saka lama terdiam.
"Pacarku."
Tak banyak berbasa-basi. Aku hanya berkenalan dengan perempuan itu. Lantas, mereka berlalu. Meninggalkan aku, dengan segala kenangan masa lalu yang berputar manis di kepalaku. Dengan rasa penasaran akan ucapan Saka yang urung ia sampaikan.
Ka, andai kamu tahu. Tidak ada yang berubah dari aku. Aku tetap aku yang dulu. Mungkin kamu sudah tidak peduli. Tapi doaku akan tetap sama.
Di bawah langit abu-abu Kota Jogja, aku pasrahkan segalanya kepada-Mu.